Jumat, 20 April 2012

Analisis Aliran Dalam Teologi Islam


ANALISIS ALIRAN
MURJI’AH, JABARIAH DAN QODARIAH
Oleh : Asep Hasan Muhiddin

Perang politik adalah permasalah pertama yang timbul dikalangan umat islam sepeninggalan nabi Muhammad SAW. Sejarah menanyakan mengapa demikian dan mengapa bukan permasalah ketauhidan /keyakinan?
Dalam perkembangannya agama islam terus menuai prestasi yang gemilang setelah berdirinya nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara yasrib yang kemudian dikenal dengan nama Madinah. Kedudukan Islam yang pada mulanya tidak berdaya untuk melawan ketertindasan kini bangkit dengan kekuatan yang terus merambah keseluruh semenanjung Arabia. Estapeta kepemimpinan inilah yang menjadi perhatian utama setelah wafatnya nabi sehingga memungkinkan lahinya ragam gaya kepemimpinan yang menuai kontropersi antar umat.
Sejarah mencatat  persoalan politik semakin mencuat kepermukaan saat kholifahan usman yang menggantikan keholifahan Umar Ibn Khotob. Ini disebabkan karena banyaknya kebijakan yang tidak diharapkan oleh umat islam sehingga terjadi pemberontkan yang menyebabkan terbunuhnya kholifah usman.
   Perkembangan politik tidak berhenti sampai disini,  Posisi Syaidina Ali bin thalib sebagai calon terkuat untuk menduduki kursi kholifahan juga menuai beragam penententangan dari berbagai pihak khususnya Talhah, Jubeir dan Muawiah.
Persoalan politik yang berkepanjangan ini akhirnya meluas menjadi persoalan teologi yang berawal dari penyelesaian sengketa dengan arbitrase sehingga memecahkan pengikut Sayidina Ali bin Abi Tholib kedalam dua golongan yaitu Khawarij dan Si’ah dan terus memicu lahirnya beberapa aliran teologi lainnya seperti halnya Murjia’ah, Qodariah dan Jabariah.
Timbulnya aliran murji’ah adalah sebagai reaksi terhadap paham kaum khawarij yang radikal, baik dari golongan Muhakimah dan Azariqoh maupun Najdah, Sufriah dan Ibadiah yang pada dasarnya mengkafirkan muslimin yang berdosa besar seperti halnya dalam penetapan hukum yang tidak menggunakan hukum yang telah ditetapkan tuhan.
Murji’ah berasal dari kata  arja’a yang berarti menunda atau memberi pengharapan. Menunda berarti penundaan keputusan kafir/tidak bagi pendosa besar hingga hari kiamat sedangkan pengharapan artinya memberikan harapan bagi pendosa besar untuk bertaubat dan masuk surga.
Dengan demikian paham yang dibawanya mengenai permasalah penetapan murtad/kafirnya seorang muslim adalah muslimin yang berdosa besar tetap seorang mu’min dan tidak kafir hingga datang keputusan allah pada hari kiamat kelak.  Argumen yang melandasi paham ini adalah maha pemurah dan pengampunya tuhan yang memungkinkan tuhan akan mengampuni dosa-dosa yang telah dilakukan seorang hambanya. Selama dirinya masih mengucapkan dan meyakini syahadatain (tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad SAW sebagai utusannya) maka ia tetap seorang mu’min.
Seperti halnya kaum khawirij, Murjiah pun terbagi kedalam beberapa golongan seperti Aljahmiah, Al-Salihiah, Alyunusiah, dan Alkhasaniah. Namun pada dasrnya mereka terbagi kedalam dua golongan besar yaitu Moderat yang berpaham selama seorang mu’min yang berbuat dosa tersebut masih mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah rosulnya maka ia dikategorikan masih tetap islam. Dan  golongan ekstrim berpendapat perbuatan dosa tidaklah mempengaruhi soal masuk surga atau neraka. Sehingga diantara mereka ada yang mengatakan bahwa sekalipun lahirnya menyembah berhala dan menyatakan kekufuran maka ia tetap seorang mu’min dan akan masuk sorga.
Dari uraian diatas dapat ditarik kekhasannya bahwa aliran murjiah lebih menitik bertakan keimanan dan keyakinan dalam hati dari pada amal atau perbuatan. Yang menentukan islam atau tidaknya seseorang adalah keimanannya bukan perbuatannya. Dan apa yang ada dalam hati hanyalah tuhan yang mengetahuinya secara pasti sedangkan manusia hanya akan mengetahui hal-hal yang diucapkan melalui lisan. Sedangkan yang diucapkan manusia terkadang sama bahkan tidak sama dengan apa yang tersembunyi dalam hati. Dengan demikian keimanan tidak dapat dirusak oleh dosa yang dilakukannya.
Jika demikian sudah tentu bahwa paham murji’ah akan membawa generasi muslim untuk memasuki dunia tidak bermoral dan jauh dari kata Akhlakul karimah dan sikap social yang jelas-jelas berbenturan dengan ajaran dasar islam yang senantiasa membina moral dan budi pekerti sehingga akan tercipta umat yang berakhlak tinggi dan berbudi pekerti luhur.
Konsepnya tentang iman  jelas bertentangan sekali dengan Alquran dan Assunah yang telah di dakwahkan rosul.  Coba bandingkan dengan ayat alquran dan alhadits berikut ini:
“Sesungguh orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal. Orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.”
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman itu. Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluan kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yg mereka miliki. maka sesungguh mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yg di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.”
Atau dengan hadits berikut ini :
“Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran hendak mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangan maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu dengan lisan maka dengan hati itulah selemah-lemah iman.”
Bertentangan atau tidaknya paham ini dengan pemahaman umat muslim saat ini tidak perlu menjadi pertentangan. Yang jelas paham ini telah mencapai perkembangan pada masanya. Maka yang terpenting kembangkanlah pemahan umat islam saat ini untuk mampu mencapai kekuatan islam dimasa mendatang.
 Pada masa perkembangannya murjiah, umat islam telah banyak mempunyai kontak dan keyajinan-keyakinan dari agama-agama lain dan falsafat yunani sehingga lahirlah kelompok baru yaitu kelompok qadariah dan jabariah.
 Kelompok qadariah mengatakan bahwa setiap manusia bebas bertindak menurut mereka sendiri tidak ada campur tangan Tuhan (Free will dan free act). Biasa dikatakan bahwa kehendak tuhan tidaklah mutlak karena menurut mereka manusia memiliki potensi tersendiri untuk berkuasa dan berbuat.
Pemahaman qodariah ini yang kemudian diaadopsi oleh golongan mu’tazilah bahwa manusia mempunyai kekuasan dan kemampuan untuk memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya dengan menggunakan kemampuan fikir dan olah budi.
Paham yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani ini pada intinya  manusia itu mampu mewujudkan segala perbuatan dengan mengandalkan kemauan dan tenaga yang dimilikinya dan melepaskan keterkaitan andil tuhan dala setiap perbuatan. 
Jabariah memiliki ideology yang berlawanan dengan Qodariah, menurutnya manusia tidak memiliki hak dan kemampuan sebagaimana yang dikemukakan oleh Qadariah, akan tetapi menurut Jabariah bahwa segala tindakan dan prilaku manusia adalah paksaan dari tuhan, sehingga mereka memiliki faham perdestinatian atau fatalism. Golongan ini beranggapan bahwa tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak atas diri manusia karena akal manusia memiliki keterbatasan. Dengan demikian segala prilaku gerak dan tingkah perbuatan baik/buruk manusia di alam ini adalah sekenario tuhan yang telah dinaskahkan dan manusia hanya menjalaninya.
Menghawatirkan memang saat menelaah pergolakan teologi ini namun jika umat islam mampu menyikapi segala hal dengan positif demi sebuah kemajuan dan perkembangan keimanan.
Dengan menganalisis paham qodariah dan jabariah diharapka manusia tidak berpangku tangan menerima nasib (paham jabariah) dan menunggu keajaiban yang memungkinkan akan melahirkan generasi muslim yang lemah lagi pemalas dan tidak produktif namun seorang manusia harus berani mencoba merubah nasib itu dengan usaha sungguh-sungguh, sebab manusia bisa berhasil dengan kemampuannya yaitu kemampuan untuk berpikir dan berkarya (Paham Qodariah).
Harun Nasution mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harusberdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.
Dengan demikian apapun paham yang terus lahir dan berkembang ambilah pendekatan pemikirannya sehingga kita akan mampu menjadi manusia yang benar-benar mampu digelari kholifah Fil Ard.

2 komentar: