Imam al-Ghazali dilahirkan pada
tahun 450 Hijrah bersamaan dengan tahun 1058 Masehi di bandat Thus, Khurasan
(Iran). Ia berkun`yah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid.
Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i (lahir 1058 di Thus, Propinsi
Khurasan, Persia (Iran), wafat 1111, Thus) .
Al-Ghozali
adalah seorang ulama’ besar yang sebagian beser waktunya dihabiskan untuk
memperdalam khazanah keilmuan. Perhatiannya yang sangat besar kepada ilmu
menjadikan Al-ghozali sebagai salah satu ulama’ islam yang banyak menelurkan
hasil buah pemikirannya kedalam bentuk tulisan yang hingga saat ini masih dapat
dipelajari serta dianut oleh sebagian kelompok masyarakat.
Hal ini juga membuat para ahli ilmu
baik filosof, agamawan, maupun ahli ilmu kalam dll. Merasa tertangtantang untuk
melakukan penelitian terhadap hasil karya Al-Ghozali. Sudah menjadi sebuah
kewajaran bahwa ”tak ada manusia yang sempurna”. Demikian halnya dengan
Al-Ghozali, walaupun banyak orang yang menganggap membela dan menyatakan bahwa
Al-Ghozali merupakan pembela islam(hujjatul islam), dan menganggap Al-Ghozali
adalah manusia muslim kedua setelah nabi Muhammad SAW dalam membawa dan
membimbing ummat melalui pemikiran yang masih dan tetap relevan untuk masa-masa
kini(kontemporer) namun, tidak sedikit juga orang yang berasumsi bahwa
pemikiran Al-Ghozali kadang bersebrangan dengan rasio. Sehingga ada yang
menyatakan bahwa Al-Ghozali merupakan sumber dan pangkal kemunduran islam, dan
anti intelektualisme.
Terlepas dari pro dan kontra diatas, ternyata Al-Ghozali
juga banyak memberikan perhatiannya terhadap masalah-masalah pendidikan. Hal
ini dilakukan Al-ghozali mengingat bahwa islam sangat menjunjung tinggi bagi
mereka yang memiliki ilmu dan mereka yang dengan sungguh-sungguh mencari ilmu.
Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah:
“niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat”.( Al mujadalah. 11)
A. Sekilas
Auto Biografi Al-Ghozali.
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad abu Hamid Al-Ghozali/Ghozzali. Beliau
dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di desa Ghozalah, Thusia, wilayah Khurosan,
Persia. Atau sekarang yang lebih dikenal negara Iran. Ia juga keturunan Persia
dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja saljuk yang memerintah daerah
Khurosan, Jibal Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz .
Al-Ghozali merupakan anak seorang yang kurang mampu.
Ayahnya adalah seorang yang jujur, hidup dari usaha mandiri, pemintal benang
dan bertenun kain bulu (wol). Ayahnya juga sering mengunjungi rumah alim
ulama’, hal ini dilakukan ayah karena ia pada dasarnya juga sangat senang
menuntutu ilmu serta berbuat jasa kepada mereka.
Dia (Al-Ghozali) adalah pemikir ulung islam yang mendapat
gelar “pembela islam”(hujjatul islam), “hiasan agama”(zainuddin), ada pula
orang yang memanggilnya dengan sebutan”samudra yang menghanyutkan”(bahrun
mughriq), dan lain-lain. Gelar tersebut disenmatkan kepada Al-Ghozali karena ia
seorang yang mengabdikan hidupnya pada agama dan masyarakat baik melalui
pergaulannya ketika beliau masih hidup dan lewat karya-karyanya.
\B.
Pemikiran Al-Ghozali tentang pendidikan
Suatu hal yang menarik dari
Al-Ghozali adalah kecintaannya dan perhatiannya yang sangat besar terhadap
moralitas dan pengetahuan sehingga ia berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk
mengarungi samudra keilmuan. Berangkat dari dahaga akan ilmu pengetahuan serta
keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mencari hakekat kebenaran sesuatu
yang tidak pernah puas. Ia terus melakukan pengembaraan intelektualitas,
filsafat, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Inilah sebabnya mengapa pemikiran
Al-Ghozali terkadang inkonsisten dan kadang terdapat kita temui
kontradiksi-kontradiksi dalam kitabnya. Karena di pengaruhi perkembangan sejak
muda sekali dan pada waktu mudanya juga ia sudah banyak menuliskan buah
pikirannya
Sistem pendidikan al-ghazali
sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga dijuluki
filosof yang ahli tasawuf (Failasuf al-Mutasawwifin) Dua corak ilmu yang telah
terpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi
komponen-komponen dalam sistem pendidikannya. Ciri khas sistem pendidikannya
al-Ghazali sebenarnya terletak pada pengajaran moral religious dengan tanpa
mengabaikan urusan dunia
1. Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut
al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan
titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqorrub kepada Allah dan bukan
untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab
jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan menyebabkan
kesesatan dan kemudharatan. Al-Ghazali berkata :
“hasil dari ilmu sesungguhnya ialah
mendekatkan diri kepada Allah, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang
tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah kebesaran,
pengaruh pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan
secara naluri”.
Menurut al-Ghazali, pendekatan
diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri
kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu tidak akan diperoleh
kecuali melalui pengajaran. Selanjutnya, dari kata-kata tersebut dapat difahami
bahwa menuru al-Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi 2 yaitu tujuan
jangka panjang dan pendek.
a. Tujuan
pendidikan jangka panjang
Adalah mendekatkan diri kepada
Allah, pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan
dan kemudian pendekatan diri
kepada Allah. Menurut konsep ini, dapat dinyatakan bahwa semakin lama seseorang
duduk dibangku pendidikan, semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin
mendekat kepada Allah.
Tentu saja untuk mewujudkan hal itu bukanlah sistem pendidikan yang memisahkan
ilmu-ilmu keduniaan dari nilai-nilai kebenaran dan sikap religius, tetapi
sistem pendidikan yang memadukan keduanya secara integral. Sistem inilah yang
mampu membentuk manusia yang mampu melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan dan
sistem pemdidikan al-Ghazali mengarah kesana.
b. Tujuan
pendidikan jangka pendek
Adalah diraihnya profesi manusia
sesuai dengan bakat dan
kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu adalah, manusia mengembangkan
ilmu pengetahuan baik yang fardu ‘ain maupun fardu kifayah
Kesimpulan tujuan pendidikan
menurut al-Ghazali :
1) Mendekatkan diri kepada
Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan denfgan kesadaran diri melaksanakan
ibadah wajib dan sunnah
2) Menggali dan mengambangkan potensi atau fitrah
manusia
3) Mewujudkan profesionalisasi
manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya
4) Membentuk manusia yang
berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela
5) Mengembangkan sifat-sifat
manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manisiawi
2. Kurikulum
Pendidikan
Kurikulum
disini dimaksudkan adalah kurikulum dalam arti yang sempit, yaitu seperangkat
ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai
tujuan yang telah dirumuskan
Pandangan al-Ghazali terhadap
kurikulum dapat dilihat dari pandangan mengenai tentang ilmu pengetahuan.
Kurikulum pendidikan yang disusun al-ghazali sesuai pandanganya mengenai tujuan
pendidikan yakni mendekatkan diri kepada Allah yang merupakan tolak ukur
manusia. Untuk menuju kesana diperlukan ilmu pengetahuan Mengurai kurikulum pendidikan menurut al-ghazali, ada dua hal yang
menarik bagi kita. Pertama, pengklasifikasian terhadap ilmu pengetahuan yang
sangat terperinci yang segala aspek yang terkait denganya. Kedua, pemikiran
tentang manusia dengan segala potensi yang dibawanya sejak lahir. Semua manusia esensinya sama. Ia sudah
kenal betul dengan pencipta sehingga selalu mendekat padanya dan itu tidak akan
berubah.
Al-ghazali mengklasifikasikan manusia adalah pribadi yang satu yang tidak dapat
disamakan dengan pribadi yang lain. Tingkat pemahaman, daya tangkap, dan daya
ingatnya terhadap ilmu pengetahuan, kemampuan menjalankan tugas hidupnya
berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu dalam kaitanya
dengan kurikulum al-ghazali mendasarkan pemikiranya bahwa kurikulum pendidikan
harus disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan
dan perkembangan psikisnya.
Selanjutnya al-ghazali membagi ilmu
pengetahuan dari beberapa sudut pandang, yaitu :
a. Berdasarkan
pembidangan ilmu
Dibagi menjadi dua bidang, yaitu
ilmu syari’ah sebagai ilmu terpuji terdiri atas ilmu ushul, ilmu furu’, ilmu
pengantar, muqoddimah, dan ilmu pelengkap. Yang kedua yaitu ilmu yang bukan
ilmu syari’ah, terdiri dari ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian,
pembangunan, tata pemerintahan, industri, kebudayaan, sastra, ilmu tenun dan
pengolahyan pangan
b. Berdasarkan
objek
Ilmu dibagi atas tiga kelompok,
yaitu :
1) Ilmu pengetahuan yang tercela
secara mutlak baik sedikit ,maupun banyak. Seperti, sihir, azimat, dan ilmu tentang ramalan nasib
2) Ilmu pengetahuan yang
terpuji. Seperti ilmu agama, dan ilmu tentang beribadat.
3) Ilmu pengethuan yang dalam
kadar tertentu terpuji tapi jika mendalmin ya tercela. Seperti dari filsafat
naturalism. Menurut al-ghazali ilmu tersebut juka diperdalam akan menimbulkan
kekacauan fikirann dan keraguan, sehingga mendorong manusia kepada kufur dan
ingkar.
c. Berdasarkan
status hukum mempelajarinya yang terkait dengan nilau guna.
Dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu :
1) fardu ain, yang wajib
dipelajari setiap individu misalkan illmu agama dan cabang-cabangnya
2) fardu kifayah, yaitu ilmu yang tidak diwajibkan pada setiap muslim tetapi
harus ada diantara orang
muslim yang mempelajarinya. Misalkan ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian,
politik, dan pengobatan tradisional.
3. Pendidik
Dalam hal ini al-ghozali berkata
:
“ makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang
paling mulia penampilanya ialah kalbunya. Guru atau pengajar se;a;u
menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntutnya untuk
dekat kepada Allah”.
Dia juga berkata ;“ seseorang yang berilmu dan kemuudian
bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakn oranbg besar dibawah kolong
langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri
pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia
sendiri pun harum,. “
Menurut al-ghozali seorang
pendidik atau guru harus memiliki beberapa sifat sebagai berikut :
a. Bertanggug jawab
b. Sabar
c. Duduk tenang penuh wibawa
d. Tidak sombong terhadap semua
orang, kecuali terhadap orang yang dzolim dengan tujuan untuk menghentikan
kedzolimanya.
e. Mengutamakn bersikap tawadhu’
di majlis-majlis pertemuan
f. Tidak suka bergurau dan
bercanda
g. Ramah terhadap para pelajar
h. Teliti dan setia mengawasi
anak yang nakal
i. Setia membimbing anak yang
bebal
j. Tidak gampang marah kepada
anak yang bebal dan lambat pemikiranya
k. Tidak malu untuk mengatakan
akan ketidaktahuannya tentang persoalan yang belum ditekuninya.
l. Memperhatikan murid yang bertanya dan berusaha menjawabnya dengan baik.
m. Manerima alasan yang diajukan
kepadanya
n. Tunduk kepada kebenaran
o. Melarang murid yang mempelajari
ilmu yang membahayakan.
p. Memperingatkan murid
mempelajari ilmu agama tetapi untuk kepentingan selain Allah
q. Memperingatkan murid agar
tidak sibuk mempelajari ilmu fardu kifayah sebelum selesai dengan mempelajari
ilmu fardu ‘ain
r. Memperbaiki ketaqwaaanya
kepada Allah
s. Mempraktekkan makna taqwa
dalam kehidupan sehari-harinya ssebelum memerintahkan kepada murid agar murid
mengikuti perbuatanya dan agar murid mengambil manfaat dari ucapan-ucapanya.
4. Peserta
didik
Al-ghazali berkata :“ Seorang pelajar hendaknya tidak
menyobongkan diri dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah
sepenuhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasihatnya sebagaimana
seorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli dan berpengalaman. Seharusnya
seorang pelajar itu tunduk kepada gurunya, mengaharap pahala dan kemuliaan
dengan tunduk kepadanya.”
Sedangkan menurut al-ghozali,
peserta didik haruslah sebagai berikut :
a. Hendaknya memberi ucapan salam kepada guru terlebih dahulu
b. Tidak banyak bicara di
hadapanya
c. Tidak berbicara selagi tidak
ditanya gurunya
d. Tidak bertanya sebelum
memintya izin terlebih dahulu
e. Tidak menentang ucapan guru
dengan ucapan (pendapat) orang lain
f. Tidak menampakkan
peetentangannya terhadap pendapat gurunya, apalagi menganggap diriya lebih
pandai dari gurunya
g. Tidak boleh berisik kepada
teman yang duduk di sebelahnya ketika guru sedang berada dalam majlis itu
h. Tidak menoleh-noleh ketika
sedang berada di hadapan gurunya, tetapi harus menundukkan kepala dan tengang
seperti dia sedang melakukan shalat
i. Tidak banyak bertanya kepada
guru, ketika kondisi guru dalam keadaan letih
j. Hendaknya berdiri ketika
gurunya berdiri dan tidak berbicara denganya ketika dia sudah beranjak dari
tempat duduknya
k. Tidak mengajukan pertanyaan
kepada guru di tengah perjalananya
l. Tidak berprasangka buruk pada
guru ketika ia melakukan perbuatan yang dhohirnya munkar, sebab dia lebih
mengetrahui rahasia (perbuatanya)
5. Media dan
Metode
Metode dan media yang
dipergunakan menurut Al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis,
maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode
pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengejaran.
Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pandapat Al-Ghazali tentang metode dan
metode pengajaran. Untuk metode, misalnya menggunakan metode mujahadah dan
riyadhlah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli, serta bimbingan dan
nasehat. Sedangkan media / alat digunakan dalam pengajaran. Beliau menyetujui
adanya pujian dan hukuman, di samping keharusan menciptakan kondisi yang
mendukung terwujudnya akhlak yang
mulia.
6. Proses
Pembelajaran
Al-Ghazali mengajukan konsep
pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya.
Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehinggga dapt
menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, baik dalam hal usia,
intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi materi
pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi
taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang dapat
mengarahkan kepada akhlak yang mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan
pada tahap pertama ialah ilmu agama dan syariat, terutama al-Qur’an.
C. Relevensi Pandangan
Al-Ghazali Bagi Kebutuhan Pengembangan Pendidikan Islam Dewasa Ini
Patut dibenarkan apa yang
dikatakan ismail razi al-Faruqi bahwa inti masalah yang dihadapai umat Islam
dewasa ini adalah masalah pendidikan dan tugas terberatnya adalah memecahkan
masalah tersebut.
Keberhasilan dan kegagalan suatu
proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya, yakni orang-orang
yang menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan
orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya
kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang
lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya
adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan
tersebut dianggap gagal.
Ciri-ciri utama dari kegagalan
proses pendidikan ialah manusia-manusia
produk-produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dari pada
menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini,
sehingga lahir berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas.
Diberbagai media masa telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu
pendidikan nasional kita. Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan
penelitian yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Berbicara mengenai mutu
pendidikan masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh karena itu dapat disadari
bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa
didalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup dalam pengetahuan, sikap, dan
psikomotor
Berangkat dari kondisi pendidikan kita, seperti telah dikemukakan di atas,
tampak pemikiran al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di
Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling
diutamakan . untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran al-Ghazali bagi
pengembangan dunia pendidika Islam khususnya, dan pendidikan pada umumnya.
Dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Tujuan
pendidikan
Dari hasil studi terhadap
pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin
dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu:
a. Tercapainya kesempurnaan
insane yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
b. Kesempurnaan insane yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat
Pendapat al-Ghazali tersebut
disamping bercorak religius yang merupakan cirri spesifik pendidikan Islam,
cenderung untuk membangun aspek sufistik. Manusia akan sampai kepada tingkat
kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu.
Dengan demikian, modal kebahagiaan dunia dan akhirat itu tidak lain adalah
ilmu.
Secara implisit, al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk
insan yang paripurna, yakni insan yang tau kewajibannya, baik sebagai hamba
Allah, maupun sebagai sesama manusia.
Dalam sudut pandang ilmu
pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius.
Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan pendidikan akal manusia agar berfikir
dengan baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Adapun mengenai
pendidiakn hati seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi
setiap insan.
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai
aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia adalam upaya membentuk
mausia paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal imni berarti bahwa
tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang
dominan denga upaya pendiidkan yang melibatkan pembentuka seluruh aspek pribadi
manusia secara utuh.
2. Materi
pendidikan Islam
Imam ai-Ghazali telah
mengklasifikasikan meteri (ilmu)dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan
anak didikjuga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari
kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang
bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan.
Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak
didik.
Yang menarik adalah hingga hari ini pendidikan Islam dinegara kita masih jauh
terbelakang, dalam arti bahwa pendiidkan Islam hari ini masih membedakan antara
ilmu agama (Islam) dan ilmu umum. Corak pembidangan ilmu itu ternyata berimbas
pada orientasi pendirian lembaga pendidikan Islam. Misalnya setingkat IAIN saja,
tercermin bahwa ilmu yang dipelajari ternyata hanya terbatas di seputas ilmu
agama Islam saja dalam arti sesempit-sempitnya. Sementara pandangan al-Ghazali
pada lebih dari seribu tahun yang lalu tidak membedakan pembidangan ilmu
semacam ini di Indonesia pada khususnya dan didunia Islam pada umumnya.
Untuk menghilangkan kesan
dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga pendiidkan tinggi Islam milik pemerintah
seperti IAIN meningkatkan lembaganya ketingkat lebih tinggi yakni ketimhkat
universitas seperti munculnya UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung dsb.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia
pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik
dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya
pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan,
materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang
berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini
sudah tidak ada.
Dengan demikian pula secara
umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati.
Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi
seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas
intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini
barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu
pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
3. Metode
pendidikan Islam
Pandangan Al-Ghazali secara spesifik
berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum
ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada
prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan
keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang
menunjang penguatan akidah
Pendidikan agama kenyataanya
lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama
menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian
murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya
dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat.
Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka
agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat diatas dapat
dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa
yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna
tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja,
melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri
sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan
Dengan demikian prinsip-prinsip
penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki
relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer
pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan
oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia
global.
Kesimpulan:
Berdasarkan uraian diatas berikut ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami hasil karyanya
disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan bukan pada satu
segi saja misalnya segi tasawuf, dengan deniukian kesan Al-Ghazali hanya
sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak dibidang ruhani dan perasaan jiwa.
2. Pendidikan Islam menurut imam
Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan social bagi umat Islam yang berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai
insane kamil yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan
manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan didunia dan diakhirat kelak.
Pencapaian lesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga merupakan tujuan
dari pendidikan Islam itu sendiri.
3. Materi pendidikan isalam
menurut al-Ghazali yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah ialah berisiskan
berbagai ilmu pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan hamba dengan
Tuhannya, sehingga ia mendekatkan diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan
begitu sipenuntut ilmu dapat mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat kelak
Dikirim Ali Nurdin via Email.. sakadang.kuya46@yahoo.com