Ayat-ayat Al-Qur’an yang
menjadi sumber bagi hukum waris Islam secara garis besarnya dapat dibagi atas
dua kelompok, yaitu ayat-ayat mawaris utama, dan ayat-ayat mawaris tambahan.
Ayat-ayat mawaris utama menyebutkan secara rinci para ahli waris dan bagian
mereka masing-masing yang dinyatakan dalam enam macam angka pecahan, yaitu 1/2,
1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Sementara itu, ayat-ayat mawaris tambahan hanya
memberikan ketentuan umum yang berkaitan dengan pembagian warisan, tetapi tidak
memberikan rinciannya.
A.
Ayat-ayat Mawaris Utama
Ayat-ayat mawaris utama hanya ada tiga ayat di dalam
Al-Qur’an, yang ketiganya berada dalam Surat An-Nisa’, yaitu ayat 11, 12, dan
176. Terjemahan ketiga ayat ini adalah sebagai berikut:
1.
Q.S. An-Nisa’ ayat 11:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini
adalah sebagai berikut:
a. Bagian anak perempuan: 1/2 jika
seorang
b. 2/3 jika dua orang atau lebih
c. 'ushubah (sisa) jika bersama dengan
anak laki-laki
d. Bagian anak laki-laki: 'ushubah
(sisa)
e.
Bagian
ibu: 1/6 jika si mayit mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih
f.
1/3
jika si mayit tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai dua orang saudara atau
lebih
g.
1/3
dari sisa (dalam masalah gharrawain yang ahli warisnya terdiri dari suami atau
isteri, ibu, dan bapak)
h. Bagian bapak: 1/6, jika si mayit
mempunyai anak laki-laki 'ushubah (sisa), jika si mayit tidak mempunyai anak
laki-laki
2.
Q.S. An-Nisa’ ayat 12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
a. Bagian suami: 1/2 jika si mayit
tidak mempunyai anak
b. 1/4 jika si mayit mempunyai anak
c. Bagian isteri:
1/4 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/8 jika si mayit mempunyai anak
d. Bagian saudara laki-laki/perempuan
seibu (kasus kalalah):
1/6 jika seorang 1/3 dibagi rata jika dua orang atau lebih
(Catatan: kalalah adalah seseorang yang wafat tanpa meninggalkan
bapak dan anak)
3.
Q.S. An-Nisa’ ayat 176:
“Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari gabungan) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini
adalah sebagai berikut:
a. Bagian saudara perempuan kandung
atau sebapak (kasus kalalah):
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
'ushubah (sisa) jika bersama saudara
laki-laki kandung atau sebapak
b.
Bagian
saudara laki-laki kandung atau sebapak (kasus kalalah):
'ushubah (sisa)
B.
Ayat-ayat Mawaris Tambahan
Beberapa ayat yang dapat dianggap
sebagai ayat-ayat mawaris tambahan terdapat di beberapa surat, antara lain
An-Nisa’, Al-Anfal, dan Al-Ahzab. Berikut ini terjemahan untuk masing-masing
ayat itu.
1.
Q.S. An-Nisa’ ayat 7:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun sudah dewasa,
baik kuat berjuang maupun tidak) sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan
harta warisan meskipun dengan jumlah bagian yang tidak sama.
Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa jahiliyah yang memberikan harta warisan kepada orang laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat berjuang (berperang)
Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa jahiliyah yang memberikan harta warisan kepada orang laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat berjuang (berperang)
2.
Q.S. An-Nisa’ ayat 8:
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim
dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan anjuran kepada keluarga yang
melaksanakan pembagian harta warisan agar memperhatikan kerabat (yang tidak
memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang miskin serta memberikan
sebagian (sekedarnya) dari harta warisan kepada mereka sehingga mereka tidak
berkecil hati atas pembagian harta itu.
3. Q.S. An-Nisa’ ayat
9:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada orang-orang yang
memiliki harta agar sebelum wafat memperhatikan kesejahteraan anak keturunan
mereka, misalnya dengan mengutamakan pemberian harta warisan kepada anak
daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga kebutuhan dan
kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.
4.
Q.S. An-Nisa’ ayat 10:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kerabat dari yang
meninggal agar anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, terutama yang
masih belum baligh (masih kanak-kanak) hendaklah bagian mereka disimpan dan
dijaga sebaik-baiknya supaya mereka (anak-anak yatim itu) nantinya dapat
menggunakan harta warisan yang menjadi hak mereka dari orang tua mereka, bukan
malah sebaliknya memakan harta anak yatim itu secara zhalim.
5. Q.S. An-Nisa’ ayat
13:
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari
Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang
mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan janji balasan Allah atas orang-orang
yang melaksanakan hukum waris (membagi harta warisan) sesuai dengan ketentuan
Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa surga di akhirat kelak.
6. Q.S. An-Nisa’ ayat
14:
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan ancaman Allah atas orang-orang yang
membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa
neraka di akhirat kelak.
7. Q.S. An-Nisa’ ayat
19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa…”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menghapus adat jahiliyah yang menjadikan wanita
sebagai harta warisan, karena pada masa jahiliyah apabila seorang laki-laki
meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain
mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan
dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga pewaris atau tidak
dibolehkan kawin lagi.
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak
dengan jalan paksa dibolehkan. Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan lagi
wanita dijadikan sebagai harta warisan dari suaminya yang meninggal lebih
dahulu.
8. Q.S. An-Nisa’ ayat 33:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini pada awalnya merupakan dasar hukum yang membolehkan
adanya hak waris-mewarisi antara dua orang yang melakukan sumpah-setia
(muhalafah) pada masa jahiliyah, tetapi kemudian menurut sebagian ahli tafsir
ayat ini dinasakh (dihapus) dengan turunnya Surat Al-Anfal ayat 75 sehingga
muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab mewarisi.
9. Q.S. An-Nisa’ ayat
127:
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Quran (yaitu Surat An-Nisa’ ayat 2 dan 3), (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka
apa-apa yang ditetapkan untuk mereka (yaitu harta warisan dan mahar), sedang
kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah.
Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui atas hal itu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita juga mendapat bagian
harta warisan secara pasti, sedikit atau banyak. Dengan demikian, wanita juga
bisa menjadi ahli waris, sema seperti laki-laki.
Menurut adat Arab Jahiliyah seorang wali berkuasa atas
wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. Jika wanita yatim
itu cantik dikawini dan diambil hartanya. Jika wanita itu buruk rupanya,
dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat menguasai
hartanya. Kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.
10. Q.S. An-Anfal ayat 72:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang
memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin),
mereka itu satu sama lain lindung-melindungi (menjadi wali). Dan (terhadap)
orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi)
jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka
kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada
perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Yang dimaksud lindung-melindungi ialah: di antara muhajirin
dan anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh (disebut muakhkhah), untuk
membentuk masyarakat yang baik. Demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan
mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan
mereka bersaudara kandung.
Ayat ini pada mulanya menjadi dasar hukum yang menjadikan
hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) sebagai sebab
waris-mewarisi.
11. Q.S. An-Anfal ayat 75:
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah
serta berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi dasar
(sebab) waris-mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan
persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar
pada permulaan Islam.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan dalam Q.S.
Al-Anfal ayat 72 sehingga hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin
dan anshar) tidak dijadikan lagi sebagai sebab waris-mewarisi.
12.
Q.S. An-Ahzab ayat 4 - 5:
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah
hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar
itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menegaskan bahwa status hukum anak angkat tidak
sama dengan anak kandung, seperti halnya status hukum isteri tidak sama dengan
ibu. Dengan demikian, dalam hal kewarisan, maka anak angkat tidak mendapat hak
waris atas harta peninggalan orang tua angkatnya. Jadi ayat ini melarang untuk
menyamakan anak angkat dengan anak kandung.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.
13. Q.S. An-Ahzab ayat 40:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah
ayah dari salah seorang sahabat. Dengan demikian, bekas isteri Zaid dapat
dinikahi oleh Rasulullah SAW karena Zaid adalah anak angkat Rasulullah SAW.
Seandainya Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW disamakan statusnya dengan
anak kandung, maka Rasulullah SAW tidak boleh menikahi mantan isteri Zaid.
Demikian pula halnya kalau anak angkat dijadikan sebagai anak kandung, maka
akan membawa pengaruh terhadap pembagian warisan.
Seperti
juga Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5, ayat ini menasakh (menghapus) ketentuan pembagian
warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan
status anak kandung dalam pembagian warisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar