Jumat, 20 April 2012

Analisis Aliran Dalam Teologi Islam


ANALISIS ALIRAN
MURJI’AH, JABARIAH DAN QODARIAH
Oleh : Asep Hasan Muhiddin

Perang politik adalah permasalah pertama yang timbul dikalangan umat islam sepeninggalan nabi Muhammad SAW. Sejarah menanyakan mengapa demikian dan mengapa bukan permasalah ketauhidan /keyakinan?
Dalam perkembangannya agama islam terus menuai prestasi yang gemilang setelah berdirinya nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara yasrib yang kemudian dikenal dengan nama Madinah. Kedudukan Islam yang pada mulanya tidak berdaya untuk melawan ketertindasan kini bangkit dengan kekuatan yang terus merambah keseluruh semenanjung Arabia. Estapeta kepemimpinan inilah yang menjadi perhatian utama setelah wafatnya nabi sehingga memungkinkan lahinya ragam gaya kepemimpinan yang menuai kontropersi antar umat.
Sejarah mencatat  persoalan politik semakin mencuat kepermukaan saat kholifahan usman yang menggantikan keholifahan Umar Ibn Khotob. Ini disebabkan karena banyaknya kebijakan yang tidak diharapkan oleh umat islam sehingga terjadi pemberontkan yang menyebabkan terbunuhnya kholifah usman.
   Perkembangan politik tidak berhenti sampai disini,  Posisi Syaidina Ali bin thalib sebagai calon terkuat untuk menduduki kursi kholifahan juga menuai beragam penententangan dari berbagai pihak khususnya Talhah, Jubeir dan Muawiah.
Persoalan politik yang berkepanjangan ini akhirnya meluas menjadi persoalan teologi yang berawal dari penyelesaian sengketa dengan arbitrase sehingga memecahkan pengikut Sayidina Ali bin Abi Tholib kedalam dua golongan yaitu Khawarij dan Si’ah dan terus memicu lahirnya beberapa aliran teologi lainnya seperti halnya Murjia’ah, Qodariah dan Jabariah.
Timbulnya aliran murji’ah adalah sebagai reaksi terhadap paham kaum khawarij yang radikal, baik dari golongan Muhakimah dan Azariqoh maupun Najdah, Sufriah dan Ibadiah yang pada dasarnya mengkafirkan muslimin yang berdosa besar seperti halnya dalam penetapan hukum yang tidak menggunakan hukum yang telah ditetapkan tuhan.
Murji’ah berasal dari kata  arja’a yang berarti menunda atau memberi pengharapan. Menunda berarti penundaan keputusan kafir/tidak bagi pendosa besar hingga hari kiamat sedangkan pengharapan artinya memberikan harapan bagi pendosa besar untuk bertaubat dan masuk surga.
Dengan demikian paham yang dibawanya mengenai permasalah penetapan murtad/kafirnya seorang muslim adalah muslimin yang berdosa besar tetap seorang mu’min dan tidak kafir hingga datang keputusan allah pada hari kiamat kelak.  Argumen yang melandasi paham ini adalah maha pemurah dan pengampunya tuhan yang memungkinkan tuhan akan mengampuni dosa-dosa yang telah dilakukan seorang hambanya. Selama dirinya masih mengucapkan dan meyakini syahadatain (tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad SAW sebagai utusannya) maka ia tetap seorang mu’min.
Seperti halnya kaum khawirij, Murjiah pun terbagi kedalam beberapa golongan seperti Aljahmiah, Al-Salihiah, Alyunusiah, dan Alkhasaniah. Namun pada dasrnya mereka terbagi kedalam dua golongan besar yaitu Moderat yang berpaham selama seorang mu’min yang berbuat dosa tersebut masih mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah rosulnya maka ia dikategorikan masih tetap islam. Dan  golongan ekstrim berpendapat perbuatan dosa tidaklah mempengaruhi soal masuk surga atau neraka. Sehingga diantara mereka ada yang mengatakan bahwa sekalipun lahirnya menyembah berhala dan menyatakan kekufuran maka ia tetap seorang mu’min dan akan masuk sorga.
Dari uraian diatas dapat ditarik kekhasannya bahwa aliran murjiah lebih menitik bertakan keimanan dan keyakinan dalam hati dari pada amal atau perbuatan. Yang menentukan islam atau tidaknya seseorang adalah keimanannya bukan perbuatannya. Dan apa yang ada dalam hati hanyalah tuhan yang mengetahuinya secara pasti sedangkan manusia hanya akan mengetahui hal-hal yang diucapkan melalui lisan. Sedangkan yang diucapkan manusia terkadang sama bahkan tidak sama dengan apa yang tersembunyi dalam hati. Dengan demikian keimanan tidak dapat dirusak oleh dosa yang dilakukannya.
Jika demikian sudah tentu bahwa paham murji’ah akan membawa generasi muslim untuk memasuki dunia tidak bermoral dan jauh dari kata Akhlakul karimah dan sikap social yang jelas-jelas berbenturan dengan ajaran dasar islam yang senantiasa membina moral dan budi pekerti sehingga akan tercipta umat yang berakhlak tinggi dan berbudi pekerti luhur.
Konsepnya tentang iman  jelas bertentangan sekali dengan Alquran dan Assunah yang telah di dakwahkan rosul.  Coba bandingkan dengan ayat alquran dan alhadits berikut ini:
“Sesungguh orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal. Orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.”
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman itu. Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluan kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yg mereka miliki. maka sesungguh mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yg di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.”
Atau dengan hadits berikut ini :
“Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran hendak mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangan maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu dengan lisan maka dengan hati itulah selemah-lemah iman.”
Bertentangan atau tidaknya paham ini dengan pemahaman umat muslim saat ini tidak perlu menjadi pertentangan. Yang jelas paham ini telah mencapai perkembangan pada masanya. Maka yang terpenting kembangkanlah pemahan umat islam saat ini untuk mampu mencapai kekuatan islam dimasa mendatang.
 Pada masa perkembangannya murjiah, umat islam telah banyak mempunyai kontak dan keyajinan-keyakinan dari agama-agama lain dan falsafat yunani sehingga lahirlah kelompok baru yaitu kelompok qadariah dan jabariah.
 Kelompok qadariah mengatakan bahwa setiap manusia bebas bertindak menurut mereka sendiri tidak ada campur tangan Tuhan (Free will dan free act). Biasa dikatakan bahwa kehendak tuhan tidaklah mutlak karena menurut mereka manusia memiliki potensi tersendiri untuk berkuasa dan berbuat.
Pemahaman qodariah ini yang kemudian diaadopsi oleh golongan mu’tazilah bahwa manusia mempunyai kekuasan dan kemampuan untuk memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya dengan menggunakan kemampuan fikir dan olah budi.
Paham yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani ini pada intinya  manusia itu mampu mewujudkan segala perbuatan dengan mengandalkan kemauan dan tenaga yang dimilikinya dan melepaskan keterkaitan andil tuhan dala setiap perbuatan. 
Jabariah memiliki ideology yang berlawanan dengan Qodariah, menurutnya manusia tidak memiliki hak dan kemampuan sebagaimana yang dikemukakan oleh Qadariah, akan tetapi menurut Jabariah bahwa segala tindakan dan prilaku manusia adalah paksaan dari tuhan, sehingga mereka memiliki faham perdestinatian atau fatalism. Golongan ini beranggapan bahwa tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak atas diri manusia karena akal manusia memiliki keterbatasan. Dengan demikian segala prilaku gerak dan tingkah perbuatan baik/buruk manusia di alam ini adalah sekenario tuhan yang telah dinaskahkan dan manusia hanya menjalaninya.
Menghawatirkan memang saat menelaah pergolakan teologi ini namun jika umat islam mampu menyikapi segala hal dengan positif demi sebuah kemajuan dan perkembangan keimanan.
Dengan menganalisis paham qodariah dan jabariah diharapka manusia tidak berpangku tangan menerima nasib (paham jabariah) dan menunggu keajaiban yang memungkinkan akan melahirkan generasi muslim yang lemah lagi pemalas dan tidak produktif namun seorang manusia harus berani mencoba merubah nasib itu dengan usaha sungguh-sungguh, sebab manusia bisa berhasil dengan kemampuannya yaitu kemampuan untuk berpikir dan berkarya (Paham Qodariah).
Harun Nasution mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harusberdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.
Dengan demikian apapun paham yang terus lahir dan berkembang ambilah pendekatan pemikirannya sehingga kita akan mampu menjadi manusia yang benar-benar mampu digelari kholifah Fil Ard.

Jumat, 06 April 2012

Dalil Warits Dalam Hadits

Ketentuan dalam hukum waris Islam yang menyangkut para ahli waris yang berhak mendapat bagian dengan jumlah yang sudah tertentu yang disebut ashhabul-furudh beserta bagian mereka masing-masing dan para ahli waris yang mendapat sisa yang disebut juga dengan ‘ashabah sudah ditetapkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an dalam ayat-ayat mawaris utama, yaitu Surat An-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176. Di samping para ahli waris yang disebutkan dalam ketiga ayat ini, ada juga ahli waris yang belum disebutkan, seperti kakek, nenek, cucu, paman, dan bibi. Para ahli waris ini disebutkan dalam beberapa hadits Nabi SAW. Demikian pula, beberapa ketentuan yang berkaitan dengan hukum waris, seperti orang-orang yang tidak bisa menjadi ahli waris dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits-hadits beliau. Berikut ini diuraikan beberapa hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum waris Islam dan menjadi pelengkap sumber hukum waris Islam.
1.      Hadits no. 1
Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat." (HR Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Dalam pembagian warisan, ahli waris yang mendapat bagian lebih dahulu adalah ahli waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka sudah tertentu), kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah (ahli waris penerima sisa).

2.      Hadits No.2
Dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata: Janda (dari Sa'ad RA) datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil unukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.        Dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya.

3.      Hadits No. 3
Dari Huzail bin Surahbil RA, dia berkata: Abu Musa RA ditanya tentang kasus kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Abu Musa RA berkata: "Untuk anak perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah. Datanglah kepada Ibnu Mas'ud RA, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula." Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud RA dan dia menjawab: "Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW. Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara perempuan." (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris cucu perempuan (dari anak laki-laki) yang mendapat 1/6 bagian jika bersama dengan seorang anak perempuan yang mendapat 1/2 bagian. Sementara itu, saudara perempuan mendapat sisanya (dalam hal ini, saudara perempuan menjadi ‘ashabah ma’al-ghair dengan sebab adanya anak perempuan dan/atau cucu perempuan)

4.      Hadits No. 4
Dari Imran bin Husein RA bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW sambil berkata: "Anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari harta warisannya?" Nabi SAW bersabda: "Kamu mendapat seperenam." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris kakek, yaitu kakek mendapat 1/6 bagian jika cucunya meninggal dengan syarat tidak ada bapak.

5.      Hadits No. 5
Dari Qabishah bin Dzuaib RA, dia berkata bahwa seorang nenek mandatangi Abu Bakar RA yang meminta warisan dari cucunya. Abu Bakar RA berkata kepadanya: "Saya tidak menemukan sesuatu untukmu dalam Kitab Allah, dan saya tidak mengetahui ada hukum dalam sunnah Nabi SAW. Kembalilah dulu, nanti saya akan bertanya kepada orang lain tentang hal ini." Mughirah bin Syu'bah RA berkata: "Saya pernah menghadiri majelis Nabi SAW yang memberikan hak nenek sebanyak seperenam." Abu Bakar RA berkata: "Apakah ada orang lain selain kamu yang mengetahuinya?" Muhammad bin Maslamah RA berdiri dan berkata seperti yang dikatakan Mughirah RA. Maka akhirnya Abu Bakar RA memberikan hak warisan nenek itu." (HR Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris nenek, yaitu nenek mendapat 1/6 bagian jika cucunya meninggal dengan syarat tidak ada ibu.

6.      Hadits No. 6
Dari Usamah bin Zaid RA bahwa Nabi SAW bersabda, "Seorang muslim tidak mewarisi nonmuslim, dan nonmuslim tidak mewarisi seorang muslim." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan bahwa hak waris-mewarisi tidak terjadi antara dua orang yang berbeda agama.

7.      Hadits No.7
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Pembunuh tidak boleh mewarisi." (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan bahwa seorang pembunuh tidak berhak mewarisi orang yang dibunuhnya. Dengan kata lain, hak warisnya menjadi hilang akibat perbuatannya membunuh itu.

8.      Hadits No. 8
Dari Sa'ad bin Abi Waqqash RA ia berkata: "Saya pernah sakit di Mekkah, sakit yang membawa kematian. Saya dijenguk oleh Nabi SAW. Saya berkata kepada Nabi SAW, 'Ya Rasulullah, saya memiliki harta yang banyak, tidak ada yang akan mewarisi harta kecuali seorang anak perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua pertiganya?' Jawab Nabi SAW, 'Tidak.' Saya berkata lagi, 'Bagaimana kalau separuhnya ya Rasulullah?' Jawab Nabi SAW, 'Tidak.' Saya berkata lagi, 'Sepertiga?' Nabi SAW bersabda, 'Ya, sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan keluargamu berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan mereka berkekurangan, sampai-sampai meminta kepada orang'." (H.R. Bukhari)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan bahwa wasiat dibatasi hanya sampai sepertiga (1/3) dari jumlah harta peninggalan, karena sepertiga itu sudah banyak, dan mewasiatkan harta melebihi jumlah ini akan mengurangi penerimaan para ahli waris yang berhak mendapat bagian.

9.      Hadits No. 9
Dari 'Amr bin Muslim dari Thawus dari 'Aisyah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Saudara laki-laki ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya." (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Saudara laki-laki dari ibu (yaitu bibi) juga termasuk ahli waris, tetapi golongan dzawil-arham, yang mendapat bagian jika tidak ada ahli waris golongan ashhabul-furudh dan ‘ashabah.

10.  Hadits No. 10
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda: "Saya adalah lebih utama bagi seorang mukmin daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang meninggal dan mempunyai utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan melunasinya. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk ahli warisnya." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Rasulullah SAW semasa hidup beliau telah bersedia menjadi orang yang bertanggung jawab melunasi utang orang yang mati dalam keadaan tidak mempunyai harta untuk membayarnya.

11.  Hadits No. 11
Dari Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Makhramah, mereka berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Seorang bayi tidak berhak menerima warisan kecuali ia lahir dalam keadaan bergerak dengan jelas. Gerakannya diketaui dari tangis, teriakan, atau bersin." (H.R. Ibnu Majah)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
a.       Bayi yang baru lahir dalam keadaan hidup berhak mendapatkan harta warisan.

Demikianlah beberapa hadits Nabi SAW yang dapat dijadikan sebagai pelengkap sumber hukum waris Islam setelah Al-Qur’an. Dari ayat-ayat mawaris dan hadits-hadits mawaris, maka para ulama telah menyusun satu cabang ilmu dalam agama Islam yang diberi nama Ilmu Faraidh atau Ilmu Mawaris yang menjadi pedoman bagi umat Islam untuk melaksanakan pembagian harta warisan sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan bimbingan Rasulullah SAW.

Dalil Warits Dalam Alquran

Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi sumber bagi hukum waris Islam secara garis besarnya dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu ayat-ayat mawaris utama, dan ayat-ayat mawaris tambahan. Ayat-ayat mawaris utama menyebutkan secara rinci para ahli waris dan bagian mereka masing-masing yang dinyatakan dalam enam macam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Sementara itu, ayat-ayat mawaris tambahan hanya memberikan ketentuan umum yang berkaitan dengan pembagian warisan, tetapi tidak memberikan rinciannya.

A.    Ayat-ayat Mawaris Utama
Ayat-ayat mawaris utama hanya ada tiga ayat di dalam Al-Qur’an, yang ketiganya berada dalam Surat An-Nisa’, yaitu ayat 11, 12, dan 176. Terjemahan ketiga ayat ini adalah sebagai berikut:
1.      Q.S. An-Nisa’ ayat 11:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
a.       Bagian anak perempuan: 1/2 jika seorang
b.      2/3 jika dua orang atau lebih
c.       'ushubah (sisa) jika bersama dengan anak laki-laki
d.      Bagian anak laki-laki: 'ushubah (sisa)
e.       Bagian ibu: 1/6 jika si mayit mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih
f.       1/3 jika si mayit tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih
g.      1/3 dari sisa (dalam masalah gharrawain yang ahli warisnya terdiri dari suami atau isteri, ibu, dan bapak)
h.      Bagian bapak: 1/6, jika si mayit mempunyai anak laki-laki 'ushubah (sisa), jika si mayit tidak mempunyai anak laki-laki

2.      Q.S. An-Nisa’ ayat 12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:

a.       Bagian suami: 1/2 jika si mayit tidak mempunyai anak
b.      1/4 jika si mayit mempunyai anak
c.       Bagian isteri:
1/4 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/8 jika si mayit mempunyai anak
d.      Bagian saudara laki-laki/perempuan seibu (kasus kalalah):
1/6 jika seorang 1/3 dibagi rata jika dua orang atau lebih
(Catatan: kalalah adalah seseorang yang wafat tanpa meninggalkan bapak dan anak)

3.      Q.S. An-Nisa’ ayat 176:
 “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari gabungan) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
a.       Bagian saudara perempuan kandung atau sebapak (kasus kalalah):
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
'ushubah (sisa) jika bersama saudara laki-laki kandung atau sebapak
b.      Bagian saudara laki-laki kandung atau sebapak (kasus kalalah):
'ushubah (sisa)
   B.     Ayat-ayat Mawaris Tambahan
Beberapa ayat yang dapat dianggap sebagai ayat-ayat mawaris tambahan terdapat di beberapa surat, antara lain An-Nisa’, Al-Anfal, dan Al-Ahzab. Berikut ini terjemahan untuk masing-masing ayat itu.
1.      Q.S. An-Nisa’ ayat 7:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak) sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian yang tidak sama.
Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa jahiliyah yang memberikan harta warisan kepada orang laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat berjuang (berperang)

2.      Q.S. An-Nisa’ ayat 8:
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan anjuran kepada keluarga yang melaksanakan pembagian harta warisan agar memperhatikan kerabat (yang tidak memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang miskin serta memberikan sebagian (sekedarnya) dari harta warisan kepada mereka sehingga mereka tidak berkecil hati atas pembagian harta itu.

3. Q.S. An-Nisa’ ayat 9:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada orang-orang yang memiliki harta agar sebelum wafat memperhatikan kesejahteraan anak keturunan mereka, misalnya dengan mengutamakan pemberian harta warisan kepada anak daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga kebutuhan dan kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.

4. Q.S. An-Nisa’ ayat 10:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kerabat dari yang meninggal agar anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, terutama yang masih belum baligh (masih kanak-kanak) hendaklah bagian mereka disimpan dan dijaga sebaik-baiknya supaya mereka (anak-anak yatim itu) nantinya dapat menggunakan harta warisan yang menjadi hak mereka dari orang tua mereka, bukan malah sebaliknya memakan harta anak yatim itu secara zhalim.

5. Q.S. An-Nisa’ ayat 13:
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan janji balasan Allah atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris (membagi harta warisan) sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa surga di akhirat kelak.

6. Q.S. An-Nisa’ ayat 14:
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan ancaman Allah atas orang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa neraka di akhirat kelak.
7. Q.S. An-Nisa’ ayat 19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa…”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menghapus adat jahiliyah yang menjadikan wanita sebagai harta warisan, karena pada masa jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan lagi wanita dijadikan sebagai harta warisan dari suaminya yang meninggal lebih dahulu.

8. Q.S. An-Nisa’ ayat 33:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini pada awalnya merupakan dasar hukum yang membolehkan adanya hak waris-mewarisi antara dua orang yang melakukan sumpah-setia (muhalafah) pada masa jahiliyah, tetapi kemudian menurut sebagian ahli tafsir ayat ini dinasakh (dihapus) dengan turunnya Surat Al-Anfal ayat 75 sehingga muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab mewarisi.

9. Q.S. An-Nisa’ ayat 127:
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (yaitu Surat An-Nisa’ ayat 2 dan 3), (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa-apa yang ditetapkan untuk mereka (yaitu harta warisan dan mahar), sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui atas hal itu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita juga mendapat bagian harta warisan secara pasti, sedikit atau banyak. Dengan demikian, wanita juga bisa menjadi ahli waris, sema seperti laki-laki.
Menurut adat Arab Jahiliyah seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. Jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya. Kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.

10. Q.S. An-Anfal ayat 72:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi (menjadi wali). Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Yang dimaksud lindung-melindungi ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh (disebut muakhkhah), untuk membentuk masyarakat yang baik. Demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.
Ayat ini pada mulanya menjadi dasar hukum yang menjadikan hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) sebagai sebab waris-mewarisi.

11. Q.S. An-Anfal ayat 75:
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi dasar (sebab) waris-mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 sehingga hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) tidak dijadikan lagi sebagai sebab waris-mewarisi.

12. Q.S. An-Ahzab ayat 4 - 5:
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menegaskan bahwa status hukum anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya status hukum isteri tidak sama dengan ibu. Dengan demikian, dalam hal kewarisan, maka anak angkat tidak mendapat hak waris atas harta peninggalan orang tua angkatnya. Jadi ayat ini melarang untuk menyamakan anak angkat dengan anak kandung.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.

13. Q.S. An-Ahzab ayat 40:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah ayah dari salah seorang sahabat. Dengan demikian, bekas isteri Zaid dapat dinikahi oleh Rasulullah SAW karena Zaid adalah anak angkat Rasulullah SAW. Seandainya Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW disamakan statusnya dengan anak kandung, maka Rasulullah SAW tidak boleh menikahi mantan isteri Zaid. Demikian pula halnya kalau anak angkat dijadikan sebagai anak kandung, maka akan membawa pengaruh terhadap pembagian warisan.
Seperti juga Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5, ayat ini menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.